Beast in the Shadows

Bayangan di Dalam Diri: Mengupas “Beast in the Shadows” Karya Edogawa Rampo

Gue mau nanya nih ke elu: lo pernah gak, ngerasa kayak ada sosok lain yang bersemayam di dalam diri lo? Sesosok bayangan yang selalu mengikuti, tapi nggak pernah keliatan? Kadang gue suka mikir, jangan-jangan kita semua tuh punya sisi lain yang kita sembunyiin dari dunia—bahkan mungkin dari diri kita sendiri.

Edogawa Rampo, melalui novelnya “Beast in the Shadows” (陰獣 Injū), mengajak kita buat ngeliat realitas ini: bahwa di balik topeng kesopanan dan kebaikan yang kita pasang sehari-hari, mungkin ada binatang buas yang tertidur. Tapi apa bener begitu? Apa emang dualitas ini adalah hakikat dari keberadaan manusia? Atau jangan-jangan, kita sendiri yang menciptakan bayangan itu?

Pertemuan Dengan Bayangan

Jadi ceritanya gini, karakter utama dalam novel ini, Samukawa Kōichirō, adalah seorang penulis misteri yang hidup dalam zona nyamannya. Lo bisa bayangin nggak, rasanya ketika lo yakin banget sama identitas lo, terus tiba-tiba semua itu dipertanyakan? Itulah yang dialami Samukawa ketika dia ketemu Mineko—seorang wanita cantik yang datang dengan cerita tentang mantan kekasihnya yang obsesif dan mengintai dari kegelapan.

“Surat-surat itu mengancam gue, katanya dia selalu mengawasi dari kegelapan,” begitu Mineko bilang ke Samukawa.

Nah, lo ngerasa nggak sih, bahwa dunia kita juga kadang kayak gitu? Ada banyak “mata” yang ngawasin kita—dari media sosial sampai orang-orang di sekitar kita. Tapi yang lebih mengerikan, kadang kita sendiri yang jadi pengintai buat diri kita. Self-surveillance, gitu istilahnya.

Identitas yang Cair: Siapa Sebenarnya Oe Shundei?

Misteri dalam novel ini semakin dalam ketika Samukawa mulai nyari tahu tentang Oe Shundei, seorang penulis misterius yang nggak pernah keliatan wujudnya tapi karyanya terkenal dengan tema-tema kekerasan yang grotesque.

Gue kadang mikir, kenapa ya kita suka banget sama cerita-cerita gelap? Apa karena di sana, kita bisa ngeliat versi diri kita yang lain? Yang bebas dari aturan dan norma? Apa yang sebenarnya kita cari dari cerita-cerita semacam itu? Katarsis, atau malah pengakuan bahwa kita nggak sendirian dalam kegelapan kita?

“Beast in the Shadows” mengajak kita buat mempertanyakan: apakah kita mengenal diri kita sendiri sebaik yang kita kira? Atau jangan-jangan, kita itu seperti Oe Shundei—sosok yang bahkan eksistensinya dipertanyakan?

Obsesi dan Hasrat yang Terlarang

Kalau lo baca novel ini, lo bakalan ngerasa kayak lagi ngintip ke relung-relung paling gelap dari pikiran manusia. Rampo nggak takut buat ngomongin hasrat sadomasokistik, kebohongan, dan pengkhianatan. Dia nunjukin bahwa manusia itu kompleks banget, dan kadang kita punya keinginan yang nggak berani kita akui bahkan ke diri sendiri.

“Gue nggak pernah ngira kalau dia punya sisi seperti itu,” kata Samukawa di satu bagian, menggambarkan keterkejutannya saat melihat sisi lain dari Mineko.

Coba deh lo tanya ke diri lo sendiri: seberapa banyak sih yang lo tahu tentang orang-orang terdekat lo? Bahkan pasangan lo, sahabat lo, atau keluarga lo? Apa lo yakin kalau lo ngerti siapa mereka sebenarnya? Atau kita semua cuma liat apa yang pengen kita liat?

Dalam era digital seperti sekarang, kita jadi makin mudah buat menciptakan persona yang berbeda-beda. Di Instagram kita keliatan happy terus, di Twitter bisa jadi super woke, di LinkedIn super professional, tapi siapa sih yang tahu versi asli dari diri kita? Apa semua persona itu bagian dari kita, atau kita udah kehilangan diri kita yang asli di antara semua itu?

Realitas vs Ilusi: Apa yang Sebenarnya Nyata?

Satu hal yang bikin “Beast in the Shadows” itu mind-blowing banget adalah cara Rampo memainkan persepsi pembaca. Lo nggak pernah bener-bener yakin sama apa yang diceritain Samukawa. Apakah dia narrator yang reliable? Atau jangan-jangan dia sendiri yang jadi monster itu?

Gue ngerasa banget nih, kadang hidup kita sendiri kayak gitu. Kita ngeframing cerita hidup kita dengan cara yang bikin kita jadi tokoh utama yang heroik. Tapi coba deh pikir, kalau hidup lo diceritain dari sudut pandang orang lain, gimana ceritanya? Apa lo masih bakal jadi hero, atau malah villain?

“Kebenaran itu kayak bayangan. Semakin lo kejar, semakin dia menjauh,” begitu gue mau nyimpulin apa yang Rampo coba sampaikan lewat novelnya.

Di zaman post-truth kayak sekarang, pertanyaan tentang apa yang bener-bener nyata jadi makin relevan. Dengan deepfake, hoax, dan manipulasi informasi, batas antara fakta dan fiksi jadi makin blur. Kayak di novel Rampo, kita semua jadi kayak Samukawa—mencoba mencari kebenaran di tengah kebingungan.

Detektif dan Kriminal: Dua Sisi Mata Uang yang Sama?

Samukawa, sebagai penulis misteri, punya pemahaman yang dalam tentang pikiran kriminal. Dia tahu gimana cara berpikir mereka, gimana mereka ngerencanain kejahatan, dan gimana mereka bersembunyi. Tapi apa yang membedakan dia dari penjahat yang dia tulis?

“Gue rasa, perbedaan antara seorang detektif dan kriminal cuma terletak pada pilihan mereka, bukan pada kemampuan atau pemahaman,” begitu refleksi gue setelah baca novel ini.

Ini bikin gue mikir: apa yang sebenernya membedakan orang baik dan orang jahat? Apakah semua orang punya kapasitas yang sama untuk berbuat jahat, dan yang membedakan cuma pilihan moral yang kita ambil? Atau jangan-jangan, konsep “baik” dan “jahat” itu sendiri nggak se-absolute yang kita kira?

Coba lo lihat diri lo sendiri: kalau lo berada dalam situasi tertentu, dengan tekanan tertentu, apa yang bakal lo lakuin? Batas-batas moral itu, sebenernya seberapa kokoh sih?

Metafiksi: Cerita di Dalam Cerita

Salah satu aspek yang bikin “Beast in the Shadows” itu brilian adalah elemen metafiksinya. Novel ini adalah cerita tentang seorang penulis yang nulis tentang pengalamannya dalam menyelidiki kasus, yang mungkin dia modifikasi untuk kepentingan cerita.

Ini kayak paradoks, kan? Samukawa menulis tentang dirinya menulis tentang kasus itu. Kita, sebagai pembaca, nggak pernah tahu apakah yang kita baca adalah kejadian yang sebenarnya, atau versi yang udah dia “edit” untuk menjadi cerita yang lebih menarik.

“Apa bedanya sih antara realitas dan fiksi kalau keduanya bisa bikin perasaan yang sama? Kalau sebuah cerita bisa bikin lo takut, sedih, atau seneng, bukannya itu udah cukup nyata?” Mungkin ini yang Rampo coba tanyain ke kita.

Dalam era konten yang oversaturated kayak sekarang, gue ngerasa kita semua jadi semacam Samukawa—membuat narasi tentang hidup kita sendiri. Di Instagram, TikTok, atau platform lainnya, kita semua jadi penulis dari cerita hidup kita. Dan sama kayak Samukawa, kita punya kecenderungan buat “mengedit” cerita itu biar lebih menarik.

Erotisme dan Kematian: Hubungan yang Kompleks

Rampo dikenal dengan eksplorasi tema-tema tabu, termasuk hubungan antara erotisme dan kematian. Dalam Buku “Beast in the Shadows”, hubungan antara Samukawa dan Mineko dibumbui dengan tensi seksual yang nggak conventional, dan kekerasan sering digambarkan dengan cara yang hampir erotis.

“Apa yang bikin kita tertarik pada hal-hal yang harusnya bikin kita takut?” Pertanyaan ini menghantuiku selama baca novel ini.

Gue jadi kepikiran, kenapa sih kita kadang tertarik sama hal-hal yang “forbidden”? Apa karena ada thrill tersendiri dalam melanggar aturan? Atau karena di sana, di pinggiran kesadaran moral kita, kita bisa merasakan kebebasan yang nggak bisa kita rasain di kehidupan sehari-hari?

Lo sendiri gimana? Pernah nggak ngerasa tertarik sama sesuatu yang lo tahu itu “salah” atau “nggak normal”? Apa yang bikin lo ngerasa begitu?

Plot Twist yang Bikin Mind-Blown

Tanpa spoiler yang terlalu detail (karena gue pengen banget lo baca sendiri buku ini), endingnya “Beast in the Shadows” itu mind-blowing. Semua asumsi yang lo bangun selama membaca tiba-tiba diruntuhkan, dan lo dipaksa buat ngerevisi pemahaman lo tentang semua karakter dan peristiwa yang udah lo ikutin dari awal.

“Kadang, orang yang lo pikir lo kenal banget, ternyata adalah orang yang paling lo nggak kenal,” begitu kesimpulan gue setelah baca endingnya.

Nggak cuma di novel, tapi di kehidupan nyata pun kadang kita mengalami plot twist yang nggak pernah kita sangka. Orang yang kita percaya bisa mengkhianati kita, situasi yang kita kira bakal lancar tiba-tiba berubah 180 derajat. Apa yang lo lakuin ketika menghadapi plot twist kehidupan? Apa lo bisa adapt dan reframe pemahaman lo, atau lo ngestuck dalam denial?

Psikologi Gelap: Telusuri Pikiran Manusia

Rampo dikenal sebagai master psikologi gelap, dan “Beast in the Shadows” adalah bukti nyata dari keahliannya. Dia nggak cuma nyajiin misteri pembunuhan biasa, tapi lebih dalam lagi—dia ngajak kita buat menelusuri labirin pikiran manusia dengan segala kompleksitasnya.

“Pikiran manusia itu kayak hutan yang gelap. Lo nggak pernah tahu apa yang bersembunyi di balik pohon berikutnya,” itulah metafora yang kepikiran sama gue pas baca novel ini.

Terus terang, gue suka banget sama buku-buku yang nggak cuma menghibur tapi juga bikin gue berpikir, dan “Beast in the Shadows” definitely masuk kategori itu. Setelah baca buku ini, gue jadi sering mikir: seberapa dalam sih gue mengenal diri gue sendiri? Apa ada “beast” yang bersembunyi di bayang-bayang pikiran gue? Dan kalau ada, apa gue berani menghadapinya?

Legasi Edogawa Rampo

Edogawa Rampo (nama pena dari Hirai Tarō) sendiri adalah sosok yang menarik. Namanya adalah permainan fonetik dari Edgar Allan Poe, salah satu penulis horror dan misteri Amerika yang paling terkenal. Ini menunjukkan penghormatan sekaligus pengaruh besar Poe dalam karya-karya Rampo.

“Keren banget sih cara Rampo ngebawa tradisi gothic dan misteri dari Barat ke konteks Jepang, tapi dengan twist yang unik dan kadang disturbing,” gue suka ngomong gitu ke temen-temen yang nanyain pendapat gue tentang Rampo.

Meskipun “Beast in the Shadows” ditulis pada 1928, tema-tema yang diangkat masih sangat relevan sampe sekarang. Obsesi, kegilaan, voyeurism, dan dualitas manusia—semua itu masih jadi topik yang fascinating buat kita di abad 21.

Gue jadi penasaran, kalau Rampo hidup di era digital kayak sekarang, kira-kira gimana ya cerita-cerita yang bakal dia tulis? Gimana dia ngegambarin social media stalking, deepfake, atau dark web? Secara instinktif, gue merasa dia bakal jadi master thriller psikologis di era kita.

Refleksi Pribadi: Apa yang Gue Pelajari dari “Beast in the Shadows”

Setelah nutup halaman terakhir “Beast in the Shadows”, gue nggak bisa berhenti mikir tentang tema-tema yang diangkat. Novel ini bikin gue lebih aware tentang bayangan-bayangan di dalam diri gue sendiri, tentang asumsi-asumsi yang gue bikin terhadap orang lain, dan tentang batas tipis antara kenyataan dan ilusi yang kita ciptakan.

“Kadang gue mikir, jangan-jangan kita semua punya Oe Shundei di dalam diri kita—sosok yang kita sembunyikan dari dunia, tapi yang diam-diam menulis cerita-cerita gelap tentang keinginan terdalam kita,” begitu gue pernah nulis di jurnal gue.

Lo sendiri gimana? Setelah baca artikel ini, apa lo jadi penasaran sama novel ini? Atau mungkin lo jadi refleksi tentang “beasts” yang mungkin bersembunyi di bayang-bayang lo sendiri?

Epilog: Menatap Bayangan

Di akhir artikel ini, gue pengen ngajak lo buat merenungkan satu hal: mungkin bayangan itu nggak selalu harus ditakuti. Mungkin, dengan mengakui dan menerima sisi gelap kita, kita justru bisa lebih memahami diri kita secara utuh.

“Beast in the Shadows” karya Edogawa Rampo bukan cuma novel misteri biasa. Ini adalah eksplorasi mendalam tentang psikologi manusia, tentang hasrat yang tersembunyi, dan tentang bagaimana kita semua, pada level tertentu, adalah misteri bahkan bagi diri kita sendiri.

Jadi, berani nggak lo menatap bayangan lo sendiri? Karena mungkin, seperti yang Rampo tunjukin lewat novel ini, di situlah kita akan menemukan kebenaran tentang siapa kita sebenarnya.

Dan ingat, seperti kata Carl Jung, psikolog terkenal itu: “Ketika lo sadar akan bayangan lo, lo juga sadar akan cahaya.” Mungkin dengan memahami sisi gelap kita, kita juga bisa lebih mengapresiasi sisi terang dalam diri kita.

“Beast in the Shadows” adalah pengingat bahwa dunia nggak se-naif yang kita bayangkan, dan bahwa manusia—dengan segala kontradiksi dan kompleksitasnya—adalah makhluk yang jauh lebih menarik dan misterius dari yang kita sadari.

Dan lo, apa lo siap menghadapi beast in your own shadows?

More Reading

Post navigation