Gue baru selesai menamatkan buku The Myth of Sisyphus karya Albert Camus, dan otak gue serasa diledakkan berkeping-keping, lalu disusun kembali dengan cara yang benar-benar berbeda. Di tengah dunia yang makin nggak masuk akal ini, tulisan Camus yang ditulis tahun 1942 itu malah terasa makin relevan, bahkan mungkin makin menusuk. Gue menemukan diri gue mengangguk-angguk sambil berbisik “iya, bener banget” berkali-kali, seolah Camus sedang duduk di seberang gue, menjelaskan kegilaan dunia yang kita hidupi sekarang.
Ketika Dunia Berhenti Masuk Akal
“Pada titik tertentu dalam hidupnya, manusia dikonfrontasi dengan irrasionalitas; ia merasakan dirinya sebagai pendatang yang terasing.” Begitu Camus menulis, dan damn, gimana nggak setuju? Lihat aja dunia kita sekarang—jutaan orang memposting kehidupan sempurna mereka di Instagram sambil diam-diam menelan antidepresan, perang berkobar atas nama perdamaian, dan kita semua bangun tiap pagi untuk bergegas ke pekerjaan yang membuat kita mati pelan-pelan demi membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan.
Absurditas yang Camus bicarakan berasal dari konflik antara hasrat kita akan makna dan kebisuan alam semesta yang tidak peduli. Manusia terus-terusan bertanya “kenapa?” sementara alam semesta cuma menjawab dengan suara desing kekosongan. Gue merasa itu makin jelas di era digital ini—kita dibombardir dengan informasi tapi makin kehilangan pengetahuan, terhubung dengan ribuan “teman” tapi merasa lebih kesepian dari sebelumnya.
Bukankah ini absurd? Tahun 2023, kita punya AI yang bisa menulis puisi tapi masih punya jutaan orang kelaparan. Kita membangun metaverse sementara planet asli kita terbakar. Seperti kata Camus, “Dunia ini tidak masuk akal, dan itu satu-satunya yang bukan absurd di dalamnya.“
Kebuntuan Eksistensial Zaman Now
“Apa yang membuat hati saya tergerak adalah wajah manusia yang lelah di kereta bawah tanah, ribuan eksistensi yang monoton yang mengalir bersama cahaya neon dan musik rekaman.” Camus menulis ini delapan dekade lalu, tapi coba ganti “kereta bawah tanah” dengan gerbong MRT Jakarta yang penuh sesak, atau “musik rekaman” dengan playlist Spotify yang diputar di AirPods untuk mengisolasi diri dari keramaian.
Lihat berita hari ini: pandemi meninggalkan jejak trauma kolektif, inflasi menggila, krisis iklim semakin parah, polarisasi politik memecah belah keluarga, dan untuk apa? Untuk “kemajuan”? Untuk “pertumbuhan ekonomi”? Untuk “kebahagiaan” yang selalu dijanjikan ada di balik gunungan to-do list?
Berita tentang mahasiswa bunuh diri karena tekanan akademik, pekerja mengalami burnout massal, dan angka depresi yang melonjak—semua adalah bukti bahwa kita hidup dalam absurditas yang Camus jelaskan. “Di dunia yang absurd, nilai tertinggi bukanlah hidup, melainkan kualitas hidup,” tulisnya. Tapi kita justru mengorbankan kualitas hidup demi sekadar bertahan hidup.
Tiga Pilihan dalam Dunia Tanpa Arahan
Jadi, apa yang harus kita lakukan menghadapi kehampaan ini? Camus menawarkan tiga jalan:
Pertama, bunuh diri fisik. Mengakhiri hidup untuk mengakhiri kebingungan. Tapi Camus menolaknya—”Bunuh diri adalah pengakuan bahwa hidup terlalu berat untuk ditanggung.” Ini bukan solusi, tapi pelarian. Dan bukankah menarik bahwa di era ketika kita punya segalanya, angka bunuh diri justru meningkat? WHO melaporkan hampir 800.000 orang bunuh diri setiap tahun. Absurd, bukan?
Kedua, bunuh diri filosofis—melompat pada keyakinan, agama, ideologi, atau narasi besar apapun yang menjanjikan kejelasan. Ini yang Camus sebut sebagai “leap of faith”. Lihat saja bagaimana orang-orang menyerahkan pikiran kritis mereka pada echo chamber media sosial, conspiracy theories, atau fanatisme politik. “Saya mencari kebenaran, bukan moral,” tulis Camus, menolak segala bentuk pelarian dari absurditas.
Ketiga, dan inilah yang Camus anjurkan: pemberontakan. Menerima absurditas sambil terus memberontak terhadapnya. “Pemberontakan memberi nilai pada kehidupan… Menjadi manusia berarti menolak untuk tunduk.” Dalam dunia yang nggak masuk akal, kita tetap tegak berdiri. Kita menciptakan makna kita sendiri bukan karena dunia akan memberikannya, tapi justru karena dunia tidak akan pernah memberikannya.
Kematian Emosional di Era Algoritma
“Absurditas lahir dari konfrontasi antara panggilan manusia dan kebisuan yang tidak masuk akal dari dunia.” Kata-kata Camus ini seperti menjelaskan kondisi kita sekarang—kita berteriak-teriak di media sosial tapi tak ada yang benar-benar mendengarkan. Kita tenggelam dalam banjir emosi palsu, reaksi instan, dan keintiman superfisial.
Lihat aja bagaimana kita merespons tragedi global: kita pasang filter di foto profil, share infografis yang bahkan nggak kita baca sampai habis, lalu scroll terus ke konten lucu berikutnya. Kita mengalami apa yang psikolog sebut sebagai “compassion fatigue”—kelelahan berempati—yang pada akhirnya membuat kita mati rasa.
Dan pemikiran rasional? Jangan ditanya. Di era post-truth, fakta hanyalah opini yang bisa dibantah dengan opini lain. “Pikiran yang menerima absurditas adalah pikiran yang menemukan kebebasan,” tulis Camus. Tapi kita justru melarikan diri dari kebebasan itu, memilih untuk terkurung dalam penjara filter bubble dan algoritma yang memvalidasi bias kita.
Sisyphus dan Kebahagiaan yang Memberontak
Puncak esai Camus adalah reinterpretasi mitos Sisyphus—sosok yang dikutuk para dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang-ulang, selamanya. Bukannya melihat Sisyphus sebagai sosok yang menderita, Camus justru membayangkannya… bahagia.
“Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia,” tulisnya di kalimat terakhir yang legendaris itu. Karena dalam momen kesadaran akan absurditas nasibnya, Sisyphus melampaui kutukannya. Ia memilih untuk menerima perjuangannya dan menemukan makna di dalamnya.
Bukankah ini juga perjuangan kita sehari-hari? Bangun, kerja, tidur, bangun lagi. Scroll, like, share, repeat. Rapat Zoom yang bisa jadi email, email yang bisa jadi chat, chat yang tidak perlu sama sekali. Kita semua Sisyphus modern, mendorong smartphone kita ke puncak gunung notifikasi, hanya untuk melihatnya kosong kembali besok pagi.
Tapi mungkin, seperti Sisyphus, kita bisa menemukan kebahagiaan dalam perjuangan itu sendiri. “Perjuangan itu sendiri menuju puncak sudah cukup untuk mengisi hati manusia.“
Memberontak dalam Keheningan yang Berteriak
Jadi apa yang bisa kita lakukan di dunia yang absurd ini? Dalam sebuah dunia di mana anak-anak Palestina tewas di bawah bom sementara kita masih mendebatkan warna gaun di internet? Di mana bencana iklim mengancam eksistensi kita sementara kita masih terobsesi dengan unboxing iPhone terbaru?
Mungkin jawabannya ada dalam kata-kata Camus: “Setiap atom dari keheningan itu, setiap sinar matahari yang jelas, dan bahkan bayangan pohon yang jatuh adalah sebuah keajaiban.“
Memberontak tidak selalu berarti berteriak. Kadang, memberontak berarti mematikan notifikasi dan membaca buku. Memberontak berarti berhenti berpura-pura bahagia di Instagram dan mulai menjalani hidup yang benar-benar bermakna bagi diri sendiri. Memberontak berarti memilih untuk merasakan—benar-benar merasakan—meski dunia mendorong kita untuk mati rasa.
Saat jutaan orang berlomba mengejar “sukses” yang diukur dengan followers dan cek deposit, mungkin pemberontakan sejati adalah hidup dengan autentik dan integritas. “Dalam kedalaman musim dingin, akhirnya saya belajar bahwa dalam diri saya terdapat musim panas yang tak terkalahkan.“
Merangkul Absurditas, Menciptakan Makna
Gue menutup buku Camus dengan perasaan yang anehnya… melegakan. Ada sesuatu yang membebaskan dalam mengakui bahwa dunia memang tidak masuk akal, dan bahwa kita tidak perlu berpura-pura sebaliknya.
Di dunia di mana orang-orang rela mengantri berjam-jam untuk foto di spot Instagramable tapi tidak punya waktu lima menit untuk berbicara dengan tetangga, mungkin kita perlu merangkul absurditas Camus. Bukan untuk menyerah pada nihilisme, tapi justru untuk menciptakan makna di tengah kehampaan.
“Satu-satunya cara untuk menghadapi dunia yang absurd adalah menjalaninya dengan sepenuhnya sadar.” Camus mengingatkan kita bahwa meski dunia tidak punya makna intrinsik, bukan berarti hidup kita tidak bisa bermakna. Kita menciptakan makna itu sendiri, melalui tindakan, pilihan, dan pemberontakan kita.
Jadi, di tengah pandemi yang belum sepenuhnya usai, krisis iklim yang mengancam, politik yang memecah belah, dan timeline media sosial yang mencekik, mungkin kita bisa berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita, seperti Sisyphus, bisa menemukan kebahagiaan dalam mendorong batu kita sendiri?
Mungkin jawabannya adalah ya, asalkan kita melakukannya dengan mata terbuka, dengan kesadaran penuh akan absurditas kondisi kita, dan dengan pemberontakan kecil setiap hari. Karena seperti kata Camus, “Pada akhirnya, yang penting bukanlah sembuh, tapi hidup dengan luka-luka kita.“
Dalam dunia yang absurd ini, mungkin itu sudah cukup.
Pemberontakan Metafisik di Era Digital
“Pemberontak metafisik bangkit melawan kondisi dan seluruh penciptaan“, tulis Camus dalam bukunya. Apa artinya memberontak secara metafisik di era digital? Di zaman di mana kita dikelilingi oleh paradoks absurd yang nggak ada habisnya?
Gue liat berita minggu lalu: seorang influencer nangis tersedu-sedu di TikTok karena algoritma berubah, sementara di belahan dunia lain, orang-orang nangis karena kehilangan rumah akibat banjir bandang. Beberapa hari kemudian, perusahaan teknologi mengumumkan headset VR seharga puluhan juta, sementara pekerja di pabriknya bunuh diri karena kondisi kerja yang mengerikan. Bukankah ini absurditas dalam bentuknya yang paling telanjang?
“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak menjadi apa adanya,” kata Camus. Dan mungkin inilah sumber penderitaan kita—kita menolak menerima kondisi absurd kita, terus-menerus mencari jawaban di tempat yang salah. Kita berharap menemukan jawaban dalam notification bar, dalam like dan retweet, dalam validasi dari orang-orang yang bahkan tidak kita kenal.
Pemrograman algoritma menciptakan ilusi makna dengan menampilkan konten yang kita suka, menciptakan gelembung informasi yang meyakinkan kita bahwa dunia memang seperti yang kita bayangkan. Tapi ini adalah bunuh diri filosofis yang Camus peringatkan—pelarian dari konfrontasi dengan absurditas.
“Dunia absurd hanya mendapatkan maknanya melalui pemberontakan manusia,” tulis Camus. Mungkin pemberontakan metafisik di era digital adalah menolak menerima begitu saja narasi yang disodorkan pada kita. Menolak kehilangan kemanusiaan kita demi efisiensi. Menolak mengukur nilai diri dengan standar yang diciptakan korporasi teknologi.
Absurditas dan Alienasi Sehari-hari
“Apa itu manusia yang absurd? Dia yang tanpa menyangkal apa pun, tidak melakukan apa pun untuk keabadian. Bukan karena dia tidak memiliki nostalgia, tetapi karena dia lebih memilih keberanian dan penalarannya.“
Kalimat Camus ini menghantam gue keras saat membaca ulang buku ini di kafe yang penuh dengan orang yang sibuk mengabadikan momen untuk media sosial, alih-alih mengalami momen itu sendiri. Lihat aja diri kita—berapa kali kita mengabadikan sunset yang indah alih-alih benar-benar menikmatinya? Berapa kali kita khawatir tentang caption yang tepat untuk foto kita, alih-alih tentang pengalaman yang kita jalani?
Bulan lalu gue baca berita tentang turis yang jatuh dari tebing karena mencoba selfie sempurna. Seminggu yang lalu, ada berita tentang orangtua yang sibuk bikin konten sementara anaknya tenggelam di kolam renang. Bukankah ini manifestasi dari apa yang Camus sebut sebagai “keterasingan metafisik“—keterasingan dari keberadaan kita sendiri?
“Kita terbiasa hidup sebelum kita memperoleh kebiasaan berpikir,” tulis Camus. Dan itulah yang terjadi dengan kita—kita terbiasa posting, share, dan scroll sebelum kita memperoleh kebiasaan merefleksikan apa yang sebenarnya kita cari dari semua itu. Kita terjebak dalam rutinitas Sisyphus modern, tapi tanpa kesadaran yang membebaskan.
Gue ngerasa alienasi sehari-hari kita makin intens dengan adanya teknologi. Kita duduk berhadapan di restoran tapi masing-masing sibuk dengan HP. Kita tidur di samping pasangan tapi terpisah oleh tembok media sosial. Kita hadir dalam rapat tapi pikiran melayang entah ke mana. Ini adalah absurditas yang Camus bicarakan—kita hadir secara fisik tapi absen secara spiritual.
“Hari ini, bangun, trem, empat jam di kantor atau pabrik, makan, trem, empat jam bekerja, makan, tidur, dan Senin Selasa Rabu Kamis Jumat dan Sabtu dalam ritme yang sama…” Ganti “trem” dengan Gojek, dan deskripsi Camus tentang rutinitas yang mencekik ini masih sama persis dengan keseharian kita, delapan dekade kemudian.
Membandingkan Absurdisme dengan Eksistensialisme dan Nihilisme
Banyak orang keliru menganggap Camus sebagai filsuf eksistensialis. Padahal dia sendiri menolak label itu. “Satu-satunya yang saya tahu adalah bahwa seseorang harus melakukan apa yang bisa dia lakukan,” tulisnya, menolak terjebak dalam sistem filosofis yang kaku.
Perbedaan utama adalah: eksistensialis seperti Sartre percaya bahwa kita bisa menciptakan makna melalui pilihan kita, nihilis percaya bahwa tidak ada makna sama sekali, sedangkan absurdis seperti Camus berada di tengah-tengah—mengakui ketiadaan makna intrinsik sambil tetap bersikeras bahwa hidup patut dijalani.
Jadi gimana membedakannya dalam konteks sehari-hari? Mungkin begini: seorang nihilis akan bilang, “Semua upaya sia-sia, jadi ngapain berusaha?” Seorang eksistensialis akan bilang, “Aku menciptakan makna lewat pilihanku, jadi aku bertanggung jawab penuh.” Sementara seorang absurdis ala Camus akan bilang, “Meskipun semua upaya mungkin sia-sia dalam skema besar, tapi perjuangan itu sendiri sudah cukup.”
Gue melihat manifestasi ketiga pandangan ini di sosial media. Para nihilis dengan meme-meme “we’re all gonna die anyway”, para eksistensialis dengan quotes-quotes motivasi “you create your own reality”, dan para absurdis dengan pengakuan-pengakuan jujur tentang perjuangan hidup tanpa mencari validasi atau simpati.
“Jika dunia jelas, seni tidak akan ada,” tulis Camus. Dan mungkin ini yang membedakan absurdisme dari nihilisme—absurdisme masih melihat keindahan dalam ketidakjelasan, masih menemukan alasan untuk berkarya, untuk mencintai, untuk hidup, meskipun tau bahwa alam semesta pada akhirnya tidak peduli.
Bunuh Diri, Media Sosial, dan Pencarian Makna
“Hanya ada satu masalah filosofis yang benar-benar serius: bunuh diri. Menilai apakah hidup layak atau tidak layak untuk dijalani, itu menjawab pertanyaan fundamental filsafat.” Kalimat pembuka The Myth of Sisyphus ini langsung menohok ke inti masalah.
Gue gak bisa gak mikir tentang tren bunuh diri yang makin meningkat di era digital, terutama di kalangan remaja. Berbagai penelitian telah mengaitkan media sosial dengan peningkatan depresi dan kecemasan. Tahun 2021, dokumen internal Facebook yang dibocorkan whistleblower menunjukkan bahwa perusahaan tahu Instagram membuat citra tubuh remaja perempuan memburuk, tapi tetap tidak melakukan apa-apa.
“Di dunia yang telah kehilangan ilusi dan cahaya, manusia merasa seperti orang asing,” tulis Camus. Bukankah ini menggambarkan kondisi banyak anak muda sekarang? Terasing, terasing di tengah keramaian virtual. Keterasingan yang semakin diperparah oleh standar kesempurnaan yang tidak realistis di media sosial.
Saat kita dikelilingi oleh influencer yang seolah hidup sempurna, perjalanan eksotis yang tak ada habisnya, dan pencapaian karir yang selalu ditampilkan dengan filter terbaik, tidak heran jika banyak yang merasa hidupnya “tidak layak dijalani” dalam perbandingan absurd ini.
Camus menulis: “Bunuh diri selalu merupakan pengakuan. Pengakuan bahwa hidup terlalu banyak bagi Anda atau bahwa Anda tidak memahaminya.” Saat seorang remaja merasa hidupnya tidak sebanding dengan apa yang ia lihat di TikTok, bukankah itu bentuk “pengakuan” bahwa ia tidak memahami absurditas dari perbandingan itu sendiri?
Di sinilah pemikiran Camus menjadi penting. Alih-alih menerima begitu saja narasi yang disodorkan pada kita—baik itu kesuksesan ala Instagram atau nihilisme ala doomer meme—kita diajak untuk menghadapi absurditas dengan mata terbuka, dan menemukan kebahagiaan dalam pemberontakan terhadap narasi-narasi itu.
Absurditas Kolektif: Krisis Iklim dan Respon Kita
“Matahari yang sama yang menyinari penderitaan Caligula juga tersenyum pada kematian Nero.” Camus mengingatkan kita bahwa alam—matahari, bulan, bintang-bintang—tidak peduli pada drama manusia. Alam acuh tak acuh, dan di situlah absurditas berasal.
Tapi sekarang, kita menghadapi paradoks baru: alam mungkin acuh tak acuh, tapi kita telah membuatnya tidak lagi acuh tak acuh. Krisis iklim adalah bukti bahwa manusia telah mengubah keacuhan alam menjadi respons yang mengancam keberadaan kita sendiri.
Dan respon kita? Absurd. Kita membuat hashtag #SaveThePlanet sementara terus mengonsumsi seperti tidak ada hari esok. Kita menonton dokumenter tentang kehancuran lingkungan sambil memesan barang impulsif dari e-commerce. Kita khawatir tentang masa depan planet sambil menambah jejak karbon dengan perjalanan tidak perlu.
“Dunia tidak masuk akal dan itu satu-satunya yang bukan absurd,” tulis Camus. Tapi respons kita terhadap dunia yang tidak masuk akal itu—itulah yang absurd. Kita tahu apa yang harus dilakukan, tapi tetap tidak melakukannya.
Pemerintah dan korporasi saling lempar tanggung jawab. Gerakan lingkungan terpecah-belah dalam perdebatan taktik. Sementara itu, suhu terus meningkat, es mencair, dan spesies punah satu per satu. “Semua revolusi hebat itu sia-sia, itulah yang memberitahu kita tentang sejarah,” tulis Camus, tapi ia juga menulis: “Itu bukan alasan untuk berhenti menjadi revolusioner.“
Mungkin ini pemberontakan absurdis yang paling penting saat ini—memberontak melawan kepunahan, meski tahu bahwa mungkin sudah terlambat. Memberontak melawan sikap acuh tak acuh, meski tahu bahwa individu sendirian tidak bisa mengubah banyak hal. Seperti Sisyphus yang terus mendorong batunya, kita terus mendorong untuk perubahan, bukan karena kita yakin akan berhasil, tapi karena alternatifnya—menyerah—bukanlah pilihan bagi mereka yang telah merangkul absurditas.
Kesadaran, Politik, dan Absurditas Kekuasaan
“Selama pikiran diam di lingkaran motif yang tidak bergerak, mereka hanya dapat mengambil sudut pandang dari pengalaman: politik dari dendam, politik dari tirani, politik dari kekuasaan.” Dalam era post-truth dan politik identitas, kata-kata Camus ini terasa menusuk.
Lihat aja dinamika politik kita: lebih banyak tentang “kita vs mereka” daripada tentang mencari solusi nyata. Lebih banyak tentang menjatuhkan lawan daripada mengangkat semua. Camus akan melihat ini sebagai bentuk “bunuh diri filosofis”—menolak berpikir kritis demi kenyamanan berada dalam kelompok.
Tahun 2023, kita menyaksikan polarisasi yang makin tajam. Algoritma media sosial memisahkan kita ke dalam echo chamber, di mana kita hanya mendengar suara-suara yang mirip dengan kita. “Pemberontakan terhadap absurditas tidak akan mendapatkan maknanya kecuali melalui jalan kejujuran,” tulis Camus. Tapi kejujuran adalah komoditas langka dalam politik.
Ketika politik identitas menjadi segalanya, kita lupa bahwa pada akhirnya kita semua menghadapi absurditas yang sama—kematian yang tak terelakkan, alam semesta yang acuh tak acuh, dan pencarian makna yang tak pernah selesai. “Pemberontakan yang efektif hanya dapat berupa pemberontakan keseluruhan, dan bukan hanya kotak yang dicentang pada formulir,” tulis Camus, mengingatkan kita bahwa politik sejati lebih dari sekadar memilih tim.
Ironisnya, sementara kita saling meneriakkan perbedaan politik, korporasi dan elit terus mengeruk keuntungan dari kemarahan kita. Saat kita sibuk berdebat tentang meme politik, mereka diam-diam merampas sumber daya dan hak-hak kita. “Budak dipaksa bekerja dengan cambuk, tetapi manusia modern dipaksa bekerja oleh empat jam tepat dan kehidupan kantor,” tulis Camus. Sekarang, tambahkan algoritma, clickbait, dan outrage porn ke dalam persamaan itu.
Cinta di Dunia Absurd
“Untuk memiliki adalah kesibukan orang mati.” Salah satu kalimat Camus yang paling menampar gue adalah tentang cinta. Di era di mana kita “mengoleksi” match di Tinder dan “mengukur” hubungan dengan foto Instagram, Camus mengingatkan kita bahwa cinta sejati bukanlah tentang kepemilikan.
Kita hidup di era dating app yang paradoksal—tidak pernah semudah ini bertemu orang baru, tapi tidak pernah sesulit ini untuk benar-benar terhubung. Kita punya akses tak terbatas pada “opsi”, tapi sering kali berakhir dengan kesepian yang mendalam. Bukankah ini absurd?
“Aku mencintaimu seperti kita diajari untuk mencintai setelah tabrakan dahsyat—dengan seluruh tubuh dilemparkan maju dan tertahan kembali oleh sabuk pengaman,” kata penulis kontemporer Hanif Abdurraqib. Kalimat ini mencerminkan cinta di era absurd—kita melempar diri ke dalam hubungan sambil tetap melindungi diri dari rasa sakit, takut akan kerentanan sejati.
Camus mungkin akan berpendapat bahwa cinta yang autentik hanya mungkin jika kita menerima absurditas—menerima bahwa orang yang kita cintai, seperti kita, adalah makhluk yang akan mati, yang juga mencari makna di dunia tanpa makna intrinsik. “Jangan menunggu hari penghakiman terakhir. Itu terjadi setiap hari,” tulisnya, mengingatkan kita untuk mencintai sekarang, dengan kesadaran penuh akan kefanaan.
Di era swipe kanan dan swipe kiri, di mana manusia direduksi menjadi komoditas yang bisa diganti, mungkin cinta absurdis adalah menerima ketidaksempurnaan, mengakui ketidakpastian, dan tetap memilih untuk mencintai—bukan karena jaminan “happily ever after”, tapi karena pilihan untuk mencintai itu sendiri adalah bentuk pemberontakan terhadap dunia yang mendorong kita untuk selalu mencari yang “lebih baik”.
Absurditas dan Kebebasan Digital
“Tidak ada takdir yang tidak bisa diatasi dengan penghinaan.” Kalimat Camus ini adalah tentang kekuatan untuk menolak menyerah pada kondisi kita, untuk tetap mempertahankan martabat kita bahkan dalam keadaan terburuk. Tapi bagaimana kita menerapkannya di era digital, di mana kita sukarela menyerahkan kebebasan kita demi kenyamanan?
Kita menyerahkan data pribadi kita untuk aplikasi gratis. Kita membiarkan algoritma menentukan apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, bahkan apa yang kita pikirkan. Kita membiarkan notifikasi mendikte ritme hidup kita. Kita mengalami “anxiety of disconnection”—kecemasan akan terputus dari aliran informasi yang terus-menerus.
“Kebebasan yang berarti adalah kebebasan dalam hal-hal konkret,” tulis Camus. Dan apa yang lebih konkret daripada kebebasan untuk menentukan ke mana perhatian kita pergi? Perhatian adalah mata uang baru, dan kita telah membiarkannya dirampok tanpa perlawanan.
Saat aplikasi dirancang untuk membuat kita kecanduan, saat korporasi teknologi memperlakukan kita sebagai produk dan bukan pengguna, saat kecerdasan buatan memprediksi (dan mengarahkan) perilaku kita, di mana letak kebebasan kita?
“Tindakan pemberontakan adalah tindakan manusia yang mengetahui hak-haknya,” tulis Camus. Mungkin pemberontakan digital adalah menuntut kembali perhatian kita. Mematikan notifikasi. Mengambil hari bebas media sosial. Membaca buku daripada scroll feed yang tidak ada habisnya. Ini mungkin tampak seperti tindakan kecil, tapi dalam dunia yang telah merampas kapasitas kita untuk berpikir mendalam, merebut kembali waktu untuk berpikir adalah tindakan radikal.
Absurditas dan Makna di Akhir Dunia
“Kebahagiaan dan absurd adalah dua putra dari bumi yang sama. Mereka tidak terpisahkan.” Dalam menghadapi krisis eksistensial kolektif—pandemi, perang, krisis iklim—kata-kata Camus ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada keadaan eksternal yang sempurna.
Saat berita terus menerus menggambarkan kehancuran, saat kiamat tampak dekat di horizon, kita mungkin bertanya-tanya: apa gunanya semua ini? Apa gunanya bekerja, mencintai, berkarya, jika semuanya akan berakhir—baik oleh kematian kita sendiri atau oleh kehancuran planet?
Camus akan menjawab: justru karena semua akan berakhir, setiap momen menjadi berharga. “Di tengah-tengah musim dingin, saya akhirnya belajar bahwa ada musim panas yang tak terkalahkan dalam diri saya.” Kalimat ini bukan tentang optimisme naif, tapi tentang menemukan kekuatan dalam menghadapi kenyataan.
Di dunia yang mungkin segera berakhir, kita masih bisa menemukan keindahan dalam hubungan manusia, dalam karya seni, dalam momen-momen sunyi bersama alam. Bukan karena momen-momen itu akan bertahan selamanya—mereka tidak akan—tapi justru karena kefanaan mereka yang membuat mereka begitu berharga.
“Di tengah-tengah musim dingin, saya akhirnya belajar bahwa ada musim panas yang tak terkalahkan dalam diri saya.” Inilah esensi dari absurdisme Camus—bahwa dalam menghadapi kegelapan, kita masih bisa memilih untuk menciptakan cahaya kita sendiri. Bukan karena cahaya itu akan menang melawan kegelapan, tapi karena pilihan untuk menyalakan cahaya itu sendiri adalah kemenangan.
Epilog: Merangkul Absurditas, Menemukan Kebebasan
Setelah menyelesaikan The Myth of Sisyphus, gue merasa anehnya… lebih bebas. Ada sesuatu yang membebaskan dalam mengakui bahwa dunia mungkin tidak memiliki makna intrinsik, dan bahwa kita tidak perlu terobsesi mencarinya.
“Cukupkah untuk melihat absurditas kehidupan untuk kemudian melompat ke dalam harapan?” tanya Camus. Jawabannya: tidak. Tidak cukup hanya melihat absurditas lalu lari ke pelukan harapan palsu. Kita harus menjalaninya, menghadapinya dengan mata terbuka.
Di dunia yang terobsesi dengan “positive vibes only” dan “manifestasi”, pandangan Camus terasa menyegarkan. Kita tidak perlu berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Kita tidak perlu berpura-pura bahwa hidup punya rencana besar untuk kita. Kita bisa mengakui bahwa hidup kadang-kadang mengerikan, tidak adil, dan absurd—dan tetap memilih untuk menjalaninya dengan sepenuh hati.
“Yang fundamental hanyalah kontradiksi antara akal manusia dan dunia yang tidak masuk akal… Dalam perjuangan itu, akal telah berkata jelas, bahagia dalam kekalahannya. Kebahagiaan dan absurd adalah dua putra dari bumi yang sama.“
Di dunia yang ngebut tanpa arah yang jelas, di mana kita dikelilingi oleh berita buruk dan ilusi sempurna di media sosial, di mana kita dijanjikan kemajuan tapi sering merasa lebih kesepian dan cemas, mungkin absurdisme Camus adalah obat yang kita butuhkan.
Bukan nihilisme yang menyerah. Bukan optimisme yang palsu. Tapi penerimaan yang jujur diikuti dengan pemberontakan yang sadar—pemberontakan yang mencipta makna bukan karena dunia akan memberinya pada kita, tapi justru karena tidak akan.
Mungkin itu sebabnya gue merasa lega setelah membaca Camus. Karena kita bisa berhenti mencari dan mulai hidup. Karena kita bisa menerima bahwa batu yang kita dorong akan selalu jatuh kembali, dan tetap memilih untuk mendorongnya lagi, kali ini dengan senyuman.
“Jika ada dosa melawan kehidupan, mungkin itu bukan berharap pada keputusasaan, tetapi berharap pada kehidupan lain dan mengabaikan keagungan kehidupan ini.” Dalam dunia yang terobsesi dengan masa depan—masa depan karir, masa depan teknologi, masa depan planet—Camus mengingatkan kita untuk kembali ke saat ini, satu-satunya yang benar-benar kita miliki.
Dan mungkin, itu saja sudah cukup.