"The History of the Medieval World" Karya Susan Wise Bauer

Mengulas Buku “The History of the Medieval World” Karya Susan Wise Bauer

Lo pernah nggak sih mikir, kenapa gue dan elo hidup di zaman yang terang benderang ini, bukannya di zaman yang penuh kegelapan seperti Abad Pertengahan? Gue sering banget bertanya-tanya, apa yang akan terjadi kalo kita terlahir di era di mana kebenaran ditentukan oleh Gereja, di mana raja punya kuasa absolut, dan di mana kematian adalah teman sehari-hari?

Dalam buku “The History of the Medieval World: From the Conversion of Constantine to the First Crusade“, Susan Wise Bauer ngajak kita melakukan perjalanan yang nggak cuma sekedar mengeksplorasi fakta-fakta sejarah, tapi juga menelusuri bayangan-bayangan gelap dari sisi manusia yang sering kita tolak keberadaannya. Melalui narasi yang compelling, dia membawa kita ke dunia di mana kebenaran dan kepercayaan saling berbenturan, di mana pedang dan salib sama-sama berlumuran darah, dan di mana manusia bergulat dengan dualitas dalam dirinya—antara cahaya dan kegelapan, antara keimanan dan kekuasaan.

Dunia yang Terbelah: Periode Transisi yang Penuh Paradoks

Jadi gini, apa yang sebenernya terjadi setelah Kekaisaran Romawi bertransformasi? Bauer nggak cuma jelasin fakta bahwa Konstantin mengkonversi kerajaannya ke Kristen, tapi dia ngasih pertanyaan yang lebih dalam: apakah ini murni keyakinan spiritual atau strategi politik?

“Gue selalu bingung, deh,” kata gue ke diri sendiri pas baca bagian ini, “gimana sih cara manusia membenarkan tindakan kekerasan atas nama keyakinan yang mengajarkan cinta dan perdamaian?”

Lo bisa bayangin nggak, gimana masa transisi ketika Romawi kolaps itu? Kerajaan-kerajaan barbar di Barat yang dianggap “primitif” justru mulai membangun fondasi peradaban modern, sementara di Timur, Bizantium mempertahankan kemegahan Romawi dengan keras—tapi dengan harga yang sangat mahal. Paradoks, kan?

Abad Pertengahan itu kayak cermin buram yang memantulkan balik pertanyaan ke kita: emang bener ya peradaban selalu berkembang maju? Atau jangan-jangan, kita juga sedang berada di titik balik peradaban tanpa kita sadari?

Kegelapan dan Cahaya: Dualitas di Dalam Gereja

Nah, salah satu bagian yang bikin gue mikir paling keras adalah soal peran Gereja. Di satu sisi, Bauer menggambarkan gimana institusi ini menjadi penyelamat ilmu pengetahuan, seni, dan literatur—para biarawan yang dengan sabar menyalin manuskrip kuno, memelihara tradisi intelektual saat dunia di sekitar mereka tenggelam dalam kerusuhan.

Tapi di sisi lain, lo nggak bisa mengabaikan fakta bahwa institusi yang sama juga menghukum mati mereka yang dianggap sesat, membakar buku-buku yang dianggap berbahaya, dan menolak ide-ide baru yang mengancam doktrin mereka.

“Apa yang lo lakukan kalo hidup di masa itu? Lo bakalan jadi biarawan yang diam-diam meragukan dogma, atau inquisitor yang yakin bahwa lo sedang melindungi jiwa-jiwa dari kesesatan?” Pertanyaan seperti ini yang terus menghantui gue selama baca buku ini.

Gue ngerasa, dualitas ini bukan cuma masalah masa lalu. Lihat aja sekarang—institusi-institusi yang seharusnya melindungi kita kadang juga bisa jadi sumber opresi. Bedanya, kalo dulu lo dibakar di tiang pancang, sekarang lo di-cancel di media sosial. Same energy, beda platform.

Byzantium: Kemegahan di Tengah Keruntuhan

“Lo tau nggak, saat Eropa Barat masih tertatih-tatih dalam kegelapan, di Konstantinopel orang lagi menikmati kamar mandi umum, hipodrom, dan perpustakaan?” Itu yang gue sering ceritain ke temen-temen yang masih mikir Abad Pertengahan itu cuma soal knight, castle, dan wabah penyakit.

Bauer dengan brilian menggambarkan kontras antara Barat dan Timur, tentang bagaimana Kekaisaran Bizantium mempertahankan warisan Romawi dengan keras kepala, tentang bagaimana mereka membangun Hagia Sophia—gedung yang teknologinya bahkan sulit ditiru oleh arsitek modern.

Tapi di balik kemegahan itu, ada story of decay yang pelan tapi pasti. Intrik istana, kekuasaan yang terlalu terpusat, dan ketidakmampuan beradaptasi perlahan menggerogoti fondasi kekaisaran ini dari dalam.

Ini bikin gue bertanya-tanya: apa kita, dengan semua kemajuan teknologi dan kenyamanan hidup, juga sedang mengalami decay dari dalam? Apa jangan-jangan, kita juga sedang terlena dengan kemegahan semu, sementara fondasi peradaban kita sendiri sedang retak?

Islam: Cahaya di Tengah Kegelapan

Mungkin salah satu kontribusi terbesar dari buku Bauer adalah cara dia menyajikan kebangkitan Islam bukan sebagai “ancaman terhadap Kekristenan” seperti yang sering digambarkan di buku-buku Barat, tapi sebagai renaissance intelektual dan spiritual yang mengubah wajah dunia.

“Gue gak habis pikir, gimana bisa di saat Eropa lagi stuck dalam dogma, peradaban Islam justru lagi flourishing dalam matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat?” Ini adalah paradoks yang terus gue renungkan.

Baghdad pada masa Kekhalifahan Abbasiyah digambarkan oleh Bauer sebagai pusat intelektual yang kosmopolitan, di mana karya-karya Yunani kuno diterjemahkan dan dikembangkan lebih jauh, di mana para ilmuwan dari berbagai latar belakang bisa berdiskusi bebas tanpa takut dibakar hidup-hidup karena ide-ide mereka.

Tapi yang bikin gue tertegun adalah bagaimana peradaban yang begitu maju bisa juga mengalami konflik internal yang menghancurkan. Pertarungan kekuasaan, sektarianisme, dan dogmatisme yang kaku pada akhirnya juga menggerogoti kegemilangan ini.

Lo ngerasa nggak sih, bahwa pattern ini terus berulang dalam sejarah manusia? Pencerahan selalu diikuti oleh kegelapan, dan kegelapan selalu melahirkan cahaya baru. Pertanyaannya adalah: di titik mana kita sekarang berada dalam siklus tak berujung ini?

Perempuan dalam Bayang-Bayang Sejarah

Salah satu aspek yang gue apresiasi dari tulisan Bauer adalah usahanya untuk menyoroti peran perempuan dalam periode di mana suara mereka sering diabaikan oleh sejarawan tradisional.

“Gue sering mikir, gimana rasanya jadi perempuan di Abad Pertengahan? Lo punya pilihan apa? Jadi biarawati, jadi istri, atau dituduh penyihir?” Ini pertanyaan yang bikin gue sadar betapa kita sering mengambil kebebasan modern sebagai given.

Dari Eleanor of Aquitaine yang mengendalikan politik Eropa dari balik layar, Theodora yang mempengaruhi kebijakan Justinian, hingga Khadijah yang mendukung Muhammad di awal misi kenabiannya—Bauer menunjukkan bahwa meskipun terbatas oleh konvensi zaman, perempuan-perempuan ini menemukan cara untuk mengekspresikan agency mereka.

Tapi di sisi lain, buku ini juga mengungkap kekerasan dan opresi sistemik yang dialami kebanyakan perempuan: dipaksa menikah di usia sangat muda, dibakar hidup-hidup sebagai penyihir karena pemahaman yang menyimpang, atau dijadikan komoditas dalam aliansi politik.

Lo bayangin nggak sih, hidup di dunia di mana setengah populasi dianggap lebih rendah secara intrinsik? Oh wait, bukannya sampai sekarang pun masih ada sisa-sisa mindset itu?

Sisi Gelap Ilmu Pengetahuan

Bauer nggak cuma menyoroti kemajuan ilmu pengetahuan di era ini, tapi juga bagaimana pengetahuan seringkali jadi alat kekuasaan. Dari alkimia yang mencari philosopher’s stone, ramalan astrologi yang menentukan keputusan raja-raja, hingga obat-obatan yang sebagian besar berdasarkan takhayul—ada garis tipis antara pengetahuan dan fantasi di masa itu.

“Gue sering bingung, gimana orang-orang zaman dulu bisa percaya bahwa wabah adalah hukuman Tuhan, padahal bukti-bukti ilmiah sudah ada di depan mata,” kata gue dalam hati. Tapi kemudian gue sadar—bukankah kita, di era informasi ini, juga masih gampang terjebak dalam conspiracy theories dan pseudoscience?

Bagian ini bikin gue refleksi: apakah kita benar-benar lebih rasional dari orang-orang Abad Pertengahan? Atau jangan-jangan, kita cuma punya ilusi bahwa kita lebih rasional, sementara cognitive bias masih mempengaruhi cara kita memandang dunia?

Perang Salib: Ketika Iman Menjadi Alat Politik

Menjelang akhir buku, Bauer menyajikan faktor-faktor yang mengarah pada Perang Salib Pertama—peristiwa yang menjadi simbol betapa tipis batas antara keyakinan spiritual dan ambisi politik.

“Lo bisa bayangin nggak, membunuh orang atas nama Tuhan yang mengajarkan cinta?” Gue selalu merasa ironi ini terlalu berat untuk diproses.

Bauer dengan cermat menguraikan bagaimana retorika perang suci digunakan oleh Paus Urban II untuk menyatukan Eropa yang terpecah-belah, bagaimana kesadaran akan “musuh bersama” diciptakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah-masalah internal, dan bagaimana nafsu akan kekayaan dan tanah terselubung dalam jubah kesalehan.

Tapi yang bikin gue tertegun adalah betapa banyak orang biasa yang dengan tulus percaya bahwa mereka melakukan kehendak Tuhan, bahwa kekerasan yang mereka lakukan adalah bentuk ibadah tertinggi.

Ini menghadapkan kita pada pertanyaan yang mengganggu: berapa banyak dari keyakinan terdalam kita sebenarnya hasil dari manipulasi oleh mereka yang berkuasa? Apa jangan-jangan, kita juga sedang berperang salib modern tanpa kita sadari?

Warisan Kelam, Pelajaran Terang

Setelah membaca buku ini, gue nggak bisa ngeliat Abad Pertengahan sebagai periode yang jauh dan tak relevan lagi. Sebaliknya, gue melihat cermin yang memantulkan sisi gelap kemanusiaan yang masih ada sampai sekarang.

“Gue pikir, kita suka ngerasa superior dibanding orang-orang masa lalu, padahal banyak dari kesalahan mereka yang kita ulang dalam bentuk yang lebih sophisticated,” gue sering refleksi seperti ini.

Dari perang agama yang masih berkecamuk, politik identitas yang memecah belah, hingga bagaimana kita masih membiarkan dogma menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam banyak hal—kita belum sepenuhnya keluar dari “kegelapan” itu.

Tapi Bauer juga menunjukkan cahaya dalam kegelapan: bagaimana di tengah zaman yang brutal, ada individu-individu yang memilih untuk mempertahankan kemanusiaan mereka, yang menantang orthodoxy dengan risiko nyawa mereka, yang menyelamatkan pengetahuan untuk generasi masa depan.

Dan mungkin itulah pelajaran terpenting: bahwa meskipun struktur kekuasaan dan institusi seringkali gagal, individu masih punya kapasitas untuk memilih kebaikan, kebenaran, dan keindahan.

Refleksi untuk Generasi Kita

Buat lo yang mungkin ngerasa, “Abad Pertengahan? Ngapain gue harus peduli?”, gue mau bilang: karena kita nggak bisa memahami present kita tanpa memahami past kita.

“Gue selalu mikir, jangan-jangan banyak dari krisis modern yang kita hadapi—dari polarisasi politik sampai religious extremism—sebenernya punya akar di Abad Pertengahan,” begitu yang sering gue renungkan.

Ketika lo baca bagaimana politik dan agama bercampur aduk di masa itu, lo mungkin akan ngeliat pola yang mirip dengan politik identitas sekarang. Ketika lo baca bagaimana informasi dikontrol untuk mempertahankan status quo, lo mungkin akan lebih kritis terhadap algoritma media sosial yang menciptakan echo chamber.

Dan mungkin yang paling penting, ketika lo baca tentang individu-individu yang berani menantang kegelapan zaman mereka, lo mungkin akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama di zaman kita.

Mencari Cahaya di Zaman Kita

Di akhir pembacaan “The History of the Medieval World”, gue merasa bahwa buku ini nggak cuma memberi kita pengetahuan tentang masa lalu, tapi juga kaca pembesar untuk melihat diri kita sendiri.

“Gue kadang suka berpikir, Abad Pertengahan nggak pernah benar-benar berakhir—ia hanya berevolusi dan mengambil bentuk baru,” begitu yang terus terngiang di kepala gue.

Lo sendiri gimana? Apa lo melihat bayangan Abad Pertengahan dalam dunia kita sekarang? Apa lo melihat dualitas yang sama dalam diri kita—antara keinginan untuk percaya dan kebutuhan untuk mempertanyakan, antara hasrat akan kekuasaan dan aspirasi akan kedamaian?

Susan Wise Bauer mungkin menulis tentang periode dari Konstantin sampai Perang Salib, tapi pesan tersiratnya melampaui waktu dan ruang: bahwa sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi di masa lalu, tapi juga tentang siapa kita sekarang, dan siapa yang ingin kita jadi di masa depan.

Mungkin itulah kenapa kita perlu menghadapi bayang-bayang gelap Abad Pertengahan—bukan untuk menghakimi mereka yang hidup di masa itu, tapi untuk lebih memahami bayangan-bayangan dalam diri kita sendiri. Karena seperti kata filsuf George Santayana: “Mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu ditakdirkan untuk mengulanginya.”

Jadi, lo siap nggak menghadapi bayang-bayang dalam diri lo sendiri?