sundakala

Sundakala: Panggilan untuk Kebangkitan dari Ayatrohaedi

Lo pernah nggak sih, duduk sendirian dan tiba-tiba kepikiran: “Siapa sih gue sebenernya?” Nah, pertanyaan identitas ini juga berlaku buat kita sebagai masyarakat. Siapa sih sebenernya orang Sunda itu? Dari mana asalnya? Dan kenapa sekarang identitas itu berasa makin luntur?

Gue rasa, buku “Sundakala: Cuplikan Sejarah Tatar Sunda” karya Ayatrohaedi ini nggak cuma sekedar buku sejarah biasa yang penuh tanggal dan nama raja-raja. Ini adalah bisikan dari masa lalu yang nyoba bangunin kita dari tidur panjang, dari amnesia kolektif tentang siapa kita sebenernya.

Ayatrohaedi, dengan kepiawaian seorang linguis dan budayawan, nggak cuma cerita “dulu tuh begini, dulu tuh begitu.” Dia ngajak kita semua, terutama orang Sunda, buat ngerasa connected sama masa lalu yang gemilang itu, dan lebih penting lagi—buat bangkit lagi.

Tatar Sunda: Teka-Teki yang Belum Terpecahkan

“Gue selalu bingung, deh,” seorang temen Sunda gue pernah bilang. “Kenapa ya orang Sunda yang konon dulu punya kerajaan gede, sekarang cuma jadi footnote di buku sejarah nasional?”

Nah, pertanyaan kayak gini yang sebenernya coba dijawab Ayatrohaedi lewat bukunya. Dia membongkar teka-teki Tatar Sunda, dari masa kerajaan Tarumanagara, Sunda-Galuh, sampe pengaruh Islam yang masuk ke wilayah Sunda. Yang bikin buku ini beda adalah cara dia menggabungkan berbagai disiplin ilmu—dari linguistik, arkeologi, sampe folklor—buat nyusun puzzle yang namanya “identitas Sunda” ini.

Apa lo pernah ngebayangin gimana rasanya hidup di masa Kerajaan Sunda lagi jaya-jayanya? Ketika pedagang dari berbagai penjuru dunia dateng ke pelabuhan Sunda Kelapa buat berdagang, ketika kebudayaan lokal berkembang pesat tanpa terlalu banyak pengaruh dari luar? Ayatrohaedi ngajak kita buat melakukan time travel imajiner ke masa itu, buat ngerasain apa yang mungkin udah kita lupain.

Ketika Sejarah Bukan Cuma Peristiwa, Tapi Keinginan Untuk Berubah

Kata Ayatrohaedi, sejarah itu bukan cuma catatan tentang apa yang terjadi di masa lalu. Sejarah adalah refleksi dari keinginan manusia untuk terus berubah dan berkembang. Dan inilah yang menurut gue jadi esensi dari buku “Sundakala” ini.

“Lo tau nggak sih,” gue sering bilang ke temen-temen, “orang Sunda itu dulu punya sistem pemerintahan, pertanian, kesenian, dan even sistem tulisan sendiri yang namanya aksara Sunda? Kenapa sekarang banyak dari kita yang malah nggak bisa baca aksara Sunda?”

Ini pertanyaan penting yang sebenernya nyentuh ke jantung permasalahan identitas kita. Kenapa kita semakin jauh dari akar budaya kita sendiri? Apa ini konsekuensi dari globalisasi, urbanisasi, atau jangan-jangan ada kesalahan fundamental dalam mindset kita sendiri?

Dualitas Dalam Identitas Sunda: Antara Tradisi dan Modernitas

Salah satu hal yang dibahas secara mendalam oleh Ayatrohaedi adalah dualitas yang selalu hadir dalam masyarakat Sunda. Dari dulu, orang Sunda tuh terkenal sebagai masyarakat yang terbuka terhadap pengaruh luar—mulai dari Hindu-Buddha, Islam, sampe pengaruh Barat—tapi tetep mempertahankan core values-nya.

“Gue sering mikir,” kata gue ke diri sendiri, “apa mungkin kemampuan adaptasi ini yang bikin identitas Sunda agak blur? Karena kita terlalu welcome sama pengaruh luar, akhirnya identitas asli kita malah tergerus?”

Ini kayak double-edged sword, ya? Di satu sisi, kemampuan adaptasi ini bikin masyarakat Sunda survive dalam berbagai era dan rezim. Di sisi lain, jangan-jangan justru inilah yang bikin kita lupa sama akar kita sendiri.

Ayatrohaedi nggak langsung ngasih jawaban atas dilema ini. Dia lebih ke arah ngajak kita buat merenung: gimana sih caranya kita bisa modern tanpa kehilangan jati diri? Gimana caranya kita bisa global tanpa kehilangan lokalitas kita?

Kerajaan-Kerajaan Sunda: Bukan Sekedar Nama di Buku Sejarah

Waktu gue SMA dulu, pelajaran sejarah soal Kerajaan Tarumanagara dan Sunda-Galuh kayaknya cuma sekilas doang. Bahkan beberapa temen gue yang asli Sunda pun nggak terlalu paham detailnya. Padahal, masa-masa kerajaan ini tuh crucial banget dalam pembentukan identitas Sunda.

Ayatrohaedi menggambarkan dengan hidup gimana Tarumanagara di bawah Raja Purnawarman berhasil membangun sistem irigasi yang maju, atau gimana Kerajaan Sunda menjaga hubungan diplomatik dengan berbagai kekuatan di Nusantara. Ini bukan sekedar cerita masa lalu, tapi blueprint yang bisa kita jadiin inspirasi buat masa depan.

“Apa lo pernah mikir,” gue suka nanya, “kenapa dulu kita bisa punya peradaban yang sophisticated, tapi sekarang kita seakan kehilangan arah?” Mungkin jawabannya ada di cara kita memandang diri kita sendiri. Kita udah terlalu lama menerima narasi bahwa kita cuma “sub-etnis” dari narasi besar Indonesia, padahal kita punya narasi besar kita sendiri.

Belajar dari Kesalahan Masa Lalu

Salah satu kekuatan dari buku Ayatrohaedi adalah dia nggak cuma memuja-muja kejayaan masa lalu, tapi juga berani ngangkat kesalahan-kesalahan yang mungkin jadi penyebab kemunduran Tatar Sunda.

“Gue suka mikir, jangan-jangan salah satu alasan kenapa Kerajaan Sunda akhirnya runtuh adalah karena konflik internal dan ketidakmampuan mengkonsolidasikan kekuatan,” gue sering berteori ke temen-temen gue.

Ayatrohaedi secara implisit ngasih tau kita bahwa fragmentation of power itu selalu jadi masalah di Tatar Sunda. Dari zaman kerajaan sampe sekarang, kita sering terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang saling berkompetisi, bukannya bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar.

Dan lo tau apa? Ini juga yang masih jadi masalah sekarang. Masyarakat Sunda, dengan segala potensinya, masih sering terjebak dalam silo-silo sosial, politik, atau kultural yang sebenernya ngehambat kemajuan kolektif kita.

Interaksi dengan Kekuatan Luar: Pelajaran tentang Diplomasi dan Resiliensi

Satu bagian yang menurut gue super menarik dari buku “Sundakala” adalah gimana Ayatrohaedi menggambarkan interaksi antara Tatar Sunda dengan kekuatan-kekuatan luar.

“Lo bisa bayangin nggak, gimana rasanya hidup di masa ketika identitas kultural lo terancam oleh kekuatan luar yang lebih besar?” Pertanyaan kayak gini sering muncul di kepala gue pas baca bagian-bagian tentang ekspansi Majapahit, pengaruh Demak, atau kedatangan kolonial Belanda.

Yang menarik, Ayatrohaedi menunjukkan bahwa orang Sunda, meskipun seringkali harus berkompromi dengan kekuatan yang lebih besar, selalu menemukan cara untuk mempertahankan esensi budaya mereka. Ada semacam resiliensi kultural yang menjadi bagian dari DNA orang Sunda—kemampuan untuk bertahan tanpa harus jadi konfrontatif.

Mungkin ini juga pelajaran penting buat kita di era globalisasi sekarang. Gimana cara kita berinteraksi dengan kekuatan global tanpa kehilangan jati diri kita? Gimana cara kita menjadi warga dunia sambil tetap menjadi orang Sunda sejati?

Dinamika Sosial dan Budaya: Mencari Jiwa Sunda yang Hilang

Ayatrohaedi bukan cuma membahas raja-raja dan peperangan. Dia juga mendedikasikan banyak halaman untuk membahas dinamika sosial dan budaya Sunda—dari sistem kepercayaan, seni, sampai tradisi keseharian.

“Gue selalu penasaran, apa yang bikin orang Sunda jadi orang Sunda? Apa sekedar bahasa? Apa sekedar tinggal di wilayah tertentu? Atau ada something deeper yang ngebentuk identitas Sunda itu?” Pertanyaan filosofis kayak gini yang coba dijawab Ayatrohaedi.

Dia menunjukkan bahwa being Sundanese itu adalah about weltanschauung—cara pandang dunia yang unik, yang dipengaruhi oleh sejarah panjang, lingkungan alam, dan interaksi sosial. Dia menunjukkan bahwa konsep “silih asih, silih asah, silih asuh” (saling mengasihi, saling mengasah, saling mengasuh) bukanlah slogan kosong, tapi filosofi hidup yang mendalam yang membentuk perilaku sosial orang Sunda.

Tapi pertanyaannya sekarang: seberapa banyak dari kita yang masih menghayati nilai-nilai ini? Seberapa banyak dari kita yang masih menjalankan filosofi ini dalam kehidupan sehari-hari? Atau jangan-jangan, kita udah kehilangan kompas moral kita di tengah arus modernisasi yang deras?

Panggilan untuk Kebangkitan: Dari Penonton Jadi Pelakon

Yang menurut gue paling powerful dari buku Ayatrohaedi adalah call to action implisitnya. Dia nggak cuma ngasih tahu kita tentang masa lalu yang gemilang, tapi juga nantang kita untuk ngebangkitin kejayaan itu lagi.

“Lo tau nggak,” gue sering ngomong gini ke temen-temen Sunda gue, “kita tuh udah kelamaan jadi penonton dalam panggung sejarah kita sendiri. Udah saatnya kita jadi pelakon lagi.”

Ini exactly what Ayatrohaedi coba sampein. Dia nggak pengen orang Sunda cuma jadi observer pasif dari transformasi budaya dan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Dia pengen kita actively shape the future kita sendiri, dengan tetap ngehargain warisan masa lalu kita.

Mungkin ini juga yang kita butuhkan sekarang: keberanian untuk reimagine what it means to be Sundanese in the 21st century. Bukannya sekedar nostalgia tentang kejayaan masa lalu, tapi aktif menciptakan kejayaan baru yang relevan dengan zaman kita.

Relevance in Today’s World: Menjadi Sunda di Era Digital

Seandainya Ayatrohaedi masih hidup dan nulis “Sundakala” di era digital seperti sekarang, apa ya yang akan dia tulis? Gimana dia bakal ngeliatin fenomena influencer Sunda, konten creator yang make bahasa Sunda, atau revival budaya Sunda di kalangan anak muda?

“Gue kadang suka takjub ngeliat anak-anak muda sekarang yang with pride make identitas Sunda mereka di platform digital,” gue pernah bilang gini ke seorang temen. “Mungkin ini tanda bahwa identitas Sunda nggak sepenuhnya hilang, cuma bertransformasi.”

Mungkin ini juga yang akan jadi kesimpulan Ayatrohaedi. Bahwa identitas kultural itu nggak pernah statis. Dia selalu berevolusi, beradaptasi, dan finding new expressions. Yang penting adalah kita tetap pegang core values yang ngebentuk identitas itu.

Jadi pertanyaan buat kita sekarang: nilai-nilai apa dari budaya Sunda yang kita pengen pertahankan dan bawa ke masa depan? Aspek mana dari identitas Sunda yang kita rasa still relevant dan bahkan bisa jadi solusi untuk masalah-masalah kontemporer?

Closing Thoughts: Merajut Kembali Jati Diri Sunda

Setelah baca “Sundakala”, gue ngerasa kayak baru bangun dari tidur panjang. Buku ini bukan cuma tentang masa lalu, tapi tentang kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Tentang siapa kita dan siapa yang kita pengen jadi.

Ayatrohaedi, melalui penelitian dan penulisannya yang mendalam, udah ngasih kita blueprint untuk merajut kembali identitas Sunda yang mulai pudar. Sekarang, bola ada di tangan kita. Mau kita apain warisan ini?

“Lo tau nggak,” gue sering bilang ke diri sendiri, “being Sundanese is not just about speaking the language or performing the traditions. It’s about embodying the values, the worldview, the ethos that has been passed down through generations.”

Dan mungkin itulah esensi dari message Ayatrohaedi. Bahwa menjadi Sunda itu bukan sekedar label etnis, tapi mindset, cara hidup, cara memandang dunia. Dan mindset ini, kalo dihayati dan dijalankan dengan benar, punya potensi untuk ngebawa kita ke kejayaan baru yang nggak kalah dari kejayaan masa lalu.

Jadi, lo siap nggak untuk stop jadi penonton dan mulai jadi pelakon dalam cerita besar tentang Tatar Sunda ini? Karena seperti yang Ayatrohaedi implicitly suggest through his work: sejarah bukan cuma tentang masa lalu. Sejarah adalah tentang kita, tentang apa yang kita putuskan untuk dilakukan sekarang, dan tentang masa depan yang kita pengen bangun bersama-sama.